Jumat, 21 November 2025 Reporter: Aldi Geri Lumban Tobing Editor: Erikyanri Maulana 268
(Foto: doc)
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Dinas Kesehatan menginisiasi Jakarta Siaga Stroke sebagai salah satu komitmen penting dalam menghadapi tantangan kesehatan masyarakat yang semakin kompleks.
"Upaya ini menjadi krusial,"
Jakarta Siaga Stroke hadir sebagai konsep komprehensif yang mencakup upaya promotif, pencegahan, deteksi dini, penanganan cepat, hingga pemulihan pascastroke.
Melalui pendekatan ini, pemerintah kota berupaya memastikan setiap warga memiliki pengetahuan, akses, dan layanan memadai untuk menghadapi risiko stroke.
Tantangan kesehatan yang dihadapi Jakarta tidak dapat dilepaskan dari situasi global, khususnya terkait ancaman stroke yang terus meningkat di seluruh dunia. Secara global, setidaknya terjadi 7 juta kematian akibat stroke tiap tahunnya sehingga menjadi penyebab kematian tertinggi ke-2 di dunia.
Berdasarkan data, beban penyakit ini juga terlihat dari tingginya angka DALYs, dan Asia menjadi wilayah dengan angka DALYs tertinggi mencapai 112,8 juta. Pada tingkat nasional, prevalensi stroke berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencapai 8,3 persen. Di DKI Jakarta yang memiliki lebih dari 11,7 juta penduduk, jumlah kasus stroke berdasarkan diagnosis dokter mencapai 24.981 kasus.
Beban DALYs akibat stroke di Jakarta juga terus meningkat setiap tahun, menggambarkan bahwa penyakit ini memiliki dampak besar terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ani Ruspitawati mengatakan, pentingnya Jakarta Siaga Stroke tidak hanya terletak pada kemampuan sistem kesehatan dalam merespons keadaan darurat, tetapi juga pada kesadaran masyarakat untuk mengenali gejala awal dan bertindak tepat waktu.
“Upaya ini menjadi krusial mengingat stroke masih menjadi masalah kesehatan besar, baik secara lokal maupun global,” ujarnya, Jumat (21/11).
Ani menjelaskan, Jakarta Siaga Stroke menekankan koordinasi cepat antara fasilitas kesehatan, layanan gawat darurat, dan tenaga medis terlatih. Ia menyebut, detik-detik pertama saat seseorang mengalami stroke merupakan waktu emas (golden period), yaitu kurang dari 4,5 jam sejak munculnya gejala.
Pada periode ini, penanganan medis cepat dapat mencegah kerusakan otak lebih luas dan menentukan kualitas hidup pasien di masa depan.
“Karena itu, sistem rujukan yang responsif, ketersediaan alat diagnostik, serta layanan rehabilitasi berkelanjutan menjadi bagian penting dari konsep ini,” ungkapnya.
Masyarakat diharapkan mampu mengenali tanda-tanda awal stroke yang sering disebut dengan ‘SeGeRa Ke RS’, yakni Senyum tidak simetris, Gerak separuh tubuh melemah, Bicara pelo atau tidak nyambung, Kebas atau kesemutan separuh tubuh, Rabun mendadak, dan Sakit kepala hebat.
Ani mengatakan, salah satu tantangan yang dihadapi adalah ketersediaan fasilitas pelayanan stroke. Berdasarkan Angels Initiative, DKI Jakarta membutuhkan sedikitnya 27 Stroke Ready Hospital (SRH) untuk melayani populasi lebih dari 11,7 juta jiwa.
“Namun saat ini baru tersedia 23 SRH dan belum semuanya memenuhi standar kualitas internasional seperti WSO Angels Award. Karena itu, percepatan penyediaan SRH menjadi bagian penting dari implementasi Jakarta Siaga Stroke,” katanya.
Ia menambahkan, upaya pencegahan menjadi salah satu fokus utama karena lebih dari 80 persen faktor risiko stroke dapat dikendalikan melalui intervensi promotif dan preventif, deteksi dini, serta pengendalian faktor risiko secara komprehensif.
“Dengan penguatan berbagai lapisan layanan kesehatan, pemerintah berharap angka kejadian stroke dapat ditekan secara signifikan,” tandasnya.