Senin, 03 November 2025 Reporter: Fakhrizal Fakhri Editor: Erikyanri Maulana 290
                    (Foto: Mochamad Tresna Suheryanto)
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno menyampaikan pentingnya peran ulama dan tokoh lintas agama dalam menjaga ketertiban serta memperkuat persatuan di ibu kota.
"Karena kekuatan kita justru ada pada perbedaan,"
Hal ini disampaikan Rano saat memberikan keynote speech saat acara Dialog dan Silaturahmi Ulama dan Polri bertema 'Membangun Sinergitas Ulama dan Polri dalam Mewujudkan Program Jaga Jakarta' di Hotel Orchard Industri, Jakarta Pusat, Senin (3/11).
Dijelaskan Rano, ulama dan tokoh agama memiliki peran sentral dalam mewujudkan program Jaga Jakarta.
“Untuk itulah FKUB atau KUB dibentuk, karena kekuatan kita justru ada pada perbedaan itu,” ujarnya.
Menurut Rano, peran ulama sebagai warasatul anbiya (pewaris para nabi) sangat penting dalam menenangkan suasana, meredam provokasi, serta memperkuat ukhuwah Islamiyah dan kebangsaan.
Sebab itu, kata Rano, sinergi antara ulama, pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat harus terus diperkuat melalui komunikasi yang terbuka dan saling percaya.
“Menjaga jauh lebih sulit daripada membangun. Membangun bisa selesai dalam satu atau dua tahun, tapi menjaga membutuhkan waktu dan biaya yang jauh lebih besar,” tegasnya.
Rano mengapresiasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya atas terselenggaranya forum ini. Ia menilai, kegiatan ini sebagai wadah strategis untuk memperkuat komunikasi, menyatukan persepsi, dan meneguhkan komitmen bersama dalam menjaga kedamaian serta persatuan di Jakarta.
“Jakarta adalah kota dengan keberagaman luar biasa, tempat berbagai suku, agama, dan budaya hidup berdampingan. Keberagaman ini adalah kekuatan besar sekaligus amanah bagi kita semua,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Rano menekankan sejumlah tantangan yang dihadapi Jakarta di tengah transformasinya menuju kota global, seperti isu intoleransi, penyebaran hoaks, provokasi berbasis identitas, hingga potensi konflik sosial.
Ia mencontohkan, peristiwa demonstrasi pada Agustus lalu yang menimbulkan kerusakan fasilitas umum dan menguji ketahanan sosial warga. Usai peristiwa tersebut, kata Rano, Pemprov DKI bersama masyarakat terus merajut semangat persatuan melalui berbagai langkah nyata. Salah satunya dengan membentuk dan mengaktifkan Posko Jaga Jakarta dari tingkat provinsi hingga kelurahan.
Posko ini menjadi ruang komunikasi tiga pilar antara pemerintah, aparat keamanan (TNI–Polri), dan masyarakat, sekaligus menggerakkan gerakan Jaga Kampung di tingkat lokal.
“Kami melibatkan RT, RW, tokoh masyarakat, hingga komunitas ojek daring sebagai mitra keamanan dalam menjaga Jakarta dan melawan hoaks,” jelasnya.
Pemprov DKI juga menggelar gotong royong lintas sektor untuk memperbaiki fasilitas publik yang terdampak, seperti halte dan jembatan penyeberangan orang (JPO).
Rano menekankan bahwa selain kerugian material, terdapat dampak sosial yang lebih besar, terutama bagi penyandang disabilitas yang kesulitan menggunakan fasilitas publik yang rusak. Salah satu bentuk kepedulian Pemprov, lanjutnya, adalah penyelenggaraan job fair penyandang disabilitas di Taman Ismail Marzuki.
Ditambahkan Rano, kampanye Jaga Jakarta kini tumbuh secara organik di media sosial dan melibatkan berbagai elemen masyarakat, mulai dari warga akar rumput, tokoh nasional, diaspora, hingga warga dari berbagai negara.
“Ini membuktikan bahwa rasa memiliki terhadap Jakarta masih hidup dan sangat kuat di hati warganya,” tandasnya.