Semburat jingga memancarkan kehangatan di pusat kota sore itu. Dari balik jendela kayu, mengalun bertalu-talu tabuhan gendang, kenong, dan gambang berpadu petikan gitar, bass, serta terompet hingga menghasilkan harmoni gambang kromong khas Betawi.
Lambat laun, alunan musik makin semarak dengan tempo lebih cepat menemani Nadia (19) dan sahabatnya Lulu (19) yang tengah asyik menyantap kudapan serta minuman yang tersaji. Sambil sesekali melemparkan tawa ringan, keduanya tampak semakin nyaman bersenda gurau di sudut teras ruangan.
Ya, kedua remaja ini sengaja memilih Kafe Waroeng Daon Lontar di Jalan Lontar Raya, RT 02/07, Kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, untuk melepas kangen. Maklum, ini adalah pertemuan pertamanya seusai menamatkan pendidikan di sekolah menengah atas yang sama di kawasan Tanah Abang. Kini, keduanya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang berbeda.
Lulu, yang berdomisili di RW 07 Kelurahan Kebon Kosong mengaku Kafe Waroeng Daon Lontar merupakan tempat favoritnya bersama Nadia untuk sekadar berbagi cerita.
“Lokasinya tidak jauh dari rumah. Suasananya tenang, enak buat ngobrol. Harga makanan dan minumannya juga cukup terjangkau,” ujar Lulu, belum lama ini kepada beritajakarta.id.
Kafe Ala Betawi di Pusat Kota
Hadir dengan konsep gaya rumah Betawi tempo dulu, Kafe Waroeng Daon Lontar cukup unik dan seolah menjadi hidden game di tengah hiruk pikuk megapolitan. Unik, karena saat banyak kafe memilih konsep industrial maupun desain minimalis, tempat ini justru menyuguhkan kehangatan yang sarat dengan budaya Betawi.
Datang ke tempat ini, Anda akan disambut bangunan rumah khas Betawi tempo dulu. Begitu pintu dibuka, beragam ornamen dan kursi kayu klasik berjajar rapi menemani becak tua yang dijadikan pajangan di sudut ruangan. Tak ketinggalan, aroma kuliner tradisional lantas menyeruak menggoda selera makan Anda.
Beragam foto Jakarta tempo dulu dan alat musik tanjidor menghiasi tembok di sebagian bangunan. Suasana vintage makin terasa dengan dekorasi lampu hias, daun jendela di dinding akses masuk, setrika arang, serta radio dan televisi jadul yang dipajang.
Tampilan vintage ini diperkuat dengan adanya properti pendukung seperti peti uang besi, mesin tik, topeng ondel-ondel dan piring keramik. Semua ornamen dan properti itu, menyatu dengan tampilan pintu serta arsitektur bangunan rumah orang Betawi gedongan yang masih dilengkapi pintu, jendela serta ubin yang masih asli sejak ditempati dulu.
Pemilik Kafe Waroeng Daon Lontar, Joko Umboro menjelaskan, dirinya sengaja mempertahankan sejumlah bagian teras rumah dari pemilik sebelumnya. Berdiri sejak tahun 2023 lalu, ia hanya mengubah bagian fasad atau selubung dengan gaya art deco.
"Saya membeli rumah ini dari orang Betawi asli. Saya sengaja tidak merombak dan hanya membalik arah muka rumah ke jalan raya saja,” kata Joko.
Joko pun bercerita, sebelum dibeli rumah tersebut menghadap ke bagian belakang Jalan Lontar Raya. Baru setelah dibeli tahun 2021, Ia mengubah arah muka dan merenovasinya hingga menjadi bentuk saat ini.
Setelah bisa membeli dan merenovasi, Joko tidak mengubah bagian teras dan ruang tamu untuk difungsikan sebagai kafe. Awalnya, ia mendirikan kafe sebagai tempat kumpul dan ngobrol bersama rekan kerja.
Seiring waktu, bagian bangunan yang kini letaknya ada di bagian belakang, difungsikan menjadi kafe menuruti usulan sang anak. Meski tidak menyajikan beragam kuliner khas Betawi, Joko mengaku kafe yang menghidangkan beragam menu minuman seperti kopi, teh, jahe merah dan kudapan seperti kentang goreng, otak-otak serta nasi dan mi goreng cukup ramai pengunjung.
Dengan kapasitas tampung hingga 50 orang, menu yang disajikan dibandrol dengan kisaran harga mulai Rp5-23 ribu saja. Selain menerima tamu umum, Joko mengaku Kafe Waroeng Daon Lontar yang namanya terinsipirasi dari nama jalan lokasi usahanya itu, kerap menjadi tempat favorit komunitas dan organisasi menggelar pertemuan.
Menurut Joko, Ia sengaja mempertahankan arsitektur dan menambahkan properti seperti saat ini sebagai bentuk kesenangan tersendiri. Meski belum bisa memberikan pendapatan yang memadai, Joko mengaku cukup puas dengan Kafe Waroeng Daon Lontar buka setiap hari Selasa hingga Minggu mulai pukul 15.00-23.00 WIB.
Joko mengaku hijrah ke Jakarta tepatnya di daerah Kebon Kacang mengikuti kedua orang tuanya sejak tahun 1970-an. Sedari dulu ua mengaku sudah menyukai budaya Betawi. Bahkan, ia juga mengaku mengoleksi beragam properti Betawi selain yang telah ditampilkan di kafe.
“Saya juga dapat jodoh atau istri orang Betawi Kebon Kacang,” selorohnya.
Sementara itu, budayawan Betawi yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Yahya Andi Saputra mengapresiasi keberadaan kafe yang mengangkat tema arsitektur dan budaya Betawi. Diakuinya, dekorasi dan tampilan Kafe Waroeng Daon Lontar sangat ciamik.
Kafe ini menurut Yahya, bisa menjadi contoh bagaimana pernak-pernik dan dekorasi Betawi bila dikemas dengan baik menjadi data tarik tersendiri. Selain itu, pengemasan konsep bangunan Betawi ini mendukung Perda Pelestarian Budaya Betawi dan persiapan Jakarta menuju kota global.
"Kuliner Betawi itu eksotik. Sekiranya dikelola dan dikemas dengan baik, akan sangat prospek, karena itu mari kelola dengan serius," tandasnya.