Kanvas sudah bersandar di posisinya, Sang Maestro mulai menuangkan cat lukis ke wadahnya. Sejenak hening, Sarnadi Adam berkonsentrasi menggabungkan cipta, rasa dan karsa sebelum mendaratkan kuas ke kanvas.
Sapuan demi sapuan kuas mewarnai kanvas berwarna putih menjadi penuh warna dan makna. Sesekali pelukis asli Betawi itu menatap sejenak ke kanvas sebelum kembali menyelesaikan lukisannya. Indah dan memukau!. Di kanvas itu tergambar seorang perempuan duduk termenung di muka pintu rumah berlatar kampung Betawi menatap penuh energi.
Pria kelahiran Jakarta 27 Agustus 1957 silam itu terlihat tekun, bersemangat dan sangat piawai menggoreskan kuas ke kanvas yang diletakkan pada area salah satu sudut ruang tamu rumahnya di bilangan Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Meski menampilkan warna-warna cerah, lukisan dengan judul 'Menatap Masa Depan' itu seolah mengekpresikan jiwa Sarnadi yang tengah merenungkan masa depan dan eksistensi seni lukis dari tangan-tangan orang Betawi menatap perjalanan Jakarta menuju Top 20 kota global dunia.
Sarnadi mengungkapkan, hingga kini sangat sulit mencari generasi muda Betawi yang mau menjadi pelukis. Menurutnya, hal itu lantaran bagi sebagian besar orang, melukis, khususnya seni rupa lukisan Betawi hingga saat ini memang belum menjadi profesi pilihan. Padahal, ketekunannya itu bisa mengantarkannya mengunjungi berbagai penjuru dunia, memamerkan karya lukisnya.
Lelaki yang tumbuh besar dan menetap hingga kini di kawasan Simprug itu telah aktif memamerkan karya lukisannya ke berbagai kota di benua Eropa, Asia dan Amerika sejak 1986. Seni rupa lukisan Betawi, dikatakan pria beranak dua dan bercucu tiga ini, juga telah memberikannya berbagai penghargaan hingga Satya Lencana Karya dari tiga Presiden Republik Indonesia pada 2000, 2011 dan 2017.
Dari Kegemaran Menjadi Pilihan Hidup
Sebelum menentukan dan menjalani pilihan hidup sebagai seorang seniman lukis Betawi, Sarnadi mengaku tidak ada bedanya dengan anak-anak seusianya di lingkungan rumahnya di bilangan Simprug. Seperti anak lainnya, pada masa kanak-kanak, anak ketiga dari empat bersaudara ini mengaku juga sering bermain air saat turun hujan.
Kebiasaan itu terus berlanjut hingga berusia 10 tahun dan mulai memiliki kegemaran menggambar di atas tanah berlumpur dengan memanfaatkan batang kayu yang kemudian dikenalnya sebagai seni membuat sketsa. Tambahan aktivitas yang biasa dilakukannya seusai hujan itu menurut Sarnadi memungkinkan lantaran jalan dan lahan di lingkungan rumah pada era 1960-an belum banyak diaspal atau tertutup beton.
Sarnadi merasa menggoreskan batang kayu melukis di atas tanah itu memberikannya kesenangan tersendiri. Lambat laun tanpa disadari, aktivitas melukis di atas tanah seusai hujan yang menggambarkan keseharian masyarakat di lingkungan tempat tinggal mulai dari penari cokek, rumah hingga pemandangan alam menjadi kegemaran baginya.
Kegemaran itulah yang mengasah dan mendorongnya mengikuti lomba lukis hingga tampil menjadi juara saat bersekolah di SMPN 19 Kebayoran Baru. Bakat yang dimilikinya itu kemudian terpantau seorang guru di sekolahnya yang berasal dari Yogyakarta, bernama Suminto.
Meski Suminto seorang pendidik mata pelajaran Aljabar, Sunardi menuturkan, gurunya itu sangat peduli untuk membimbing dan mengarahkannya mengembangkan bakat seni. Berkat saran sang guru itu juga, Sarnadi mengaku bulat tekad memutuskan memilih melanjutkan pendidikan ke Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) seusai lulus SMP.
Ia menjelaskan, dari tiga SSRI yang baru ada di tiga kota se-Indonesia, yakni Yogyakarta, Padang dan Denpasar, saat itu, Sarnadi kemudian memilih melanjutkan sekolah di SSRI Yogyakarta dan menempuh pendidikan selama sekitar empat tahun.
Setelahnya, Sarnadi melanjutkan pendidikan juga di Kota Yogyakarta dengan berkuliah Strata 1 (S1) jurusan Seni Lukis di Sekolah Tinggi Seni Rupa Republik Indonesia Yogyakarta, hingga lulus pada1985.
Sebagai keturunan asli Betawi, Sarnadi mengakui pilihannya bersekolah sebagai seniman memang tidak lazim. Namun, diakui Sarnadi, profesi sang ayah sebagai seorang juru gambar bangunan turut andil memudahkannya mewujudkan keinginan bersekolah di SSRI Yogyakarta saat itu.
Menurutnya, karena profesi itu, sang ayah bisa memahami ketertarikan Sunardi dalam bidang seni rupa. Di sisi lain, sang ibu juga sering menghabiskan waktu membatik di perajin batik yang ada di dekat rumahnya.
"Mungkin paduan dari bapak yang memang ahli gambar dan ibu suka membatik menurun jadi bakat ke saya. Sehingga memudahkan mereka memahami tekad saya menjadi pelukis," selorohnya.
Selama menempuh pendidikan di Yogyakarta mulai dari SSRI hingga STSRRI itu, Sarnadi mulai aktif melukis secara profesional dan mengikuti berbagi pameran di sekitaran Yogyakarta seperti Solo, Magelang dan lain-lain. Hingga pada sekitar 1982, Sarnadi baru berkesempatan menggelar pameran tunggal lukisannya di British Council, Jakarta.
Kemudian, setelah lulus dari kampus yang sekarang bernama Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu, setahun kemudian, tepatnya pada1986, Sarnadi kembali ke Jakarta.
Pada tahun itu, dirinya juga mendapat panggilan menjadi dosen di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta atau yang sekarang bernama Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Selain bekerja menjadi dosen, Sarnadi mengaku tetap aktif melukis dan menggelar pameran. Bahkan, pameran tunggal yang digelar Sarnadi di Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan disponsori Dewan Kesenian Jakarta pada 1986, mempertemukannya dengan Mr. A.Q. Jansen SH, seorang warga negara Belanda yang kemudian hari berperan membuka jalan bagi kiprah Maestro lukis Betawi itu di berbagai belahan dunia.
Hubungan Sarnadi dengan Jansen yang seorang Indonesianis saat pameran di TIM memang baru sekedar sebagai seorang seniman dengan kolektor yang membeli hasil karyanya.
Relasi itu baru berlanjut. Sarnadi menghubungi beberapa waktu kemudian setelah Jansen kembali ke negara asal melalui sambungan telepon dan meminta bantuan untuk menggelar pameran di negeri Belanda.
Permohonan itu, selanjutnya barus direspons sekitar empat bulan kemudian oleh Jansen dan mengundang Sunardi datang pameran di Leiden, Belanda pada 1992. Pameran perdana Sunardi saat itu difasilitasi Jansen bersama komunitas sesama bangsanya yang pernah mengenyam pendidikan di Hogere Burgerschool (HBS) pada zaman pendudukan Belanda di Indonesia dahulu.
Dalam pameran tunggal perdananya di Eropa, Sarnadi mampu menjual seluruh karya yang dibawa sebanyak 20 lukisan. Sukses itu juga yang membuat namanya mulai dikenal dan menjadi sering diundang pameran ke berbagai kota di dunia seperti Amsterdam, Den Haag, Warmenhuizen (Belanda) Manila (Filipina), Bangkok (Thailand), Beijing, Ghoungzou, Shenzen (RRC), New York, New Jersey, dan Boston (Amerika Serikat).
Aktivitas menggelar pameran mancanegara juga dilakukannya secara bergantian ke sejumlah kota di negara Swiss, Belgia, Jerman, Singapura, Brunei Darussalam serta Korea Selatan hingga sekitar 2002.
Selain diperebutkan kolektor mancanegara, karya dari Sarnadi juga dikoleksi berbagai lembaga dan perseorangan seperti Dewan Kesenian Jakarta, TIM, Bentara Budaya Jakarta, Museum Jakarta, Bank Indonesia Jakarta, Wakil Gubenur DKI Jakarta, Rano Karno.
"Menyelesaikan setiap lukisan itu butuh waktu sekitar sepekan dan satu tahun. Sedikitnya saya bisa menghasilkan 40 lukisan. Kalau lebih 45 tahun aktif melukis totalnya bisa sekitar 2.000 lukisan," tuturnya.
Museum Seni Rupa Betawi
Tidak hanya aktif melukis dan menggelar pameran serta pendidik di UNJ, Sarnadi juga kerap terlibat menjadi juri di berbagai perlombaan. Sejak 1990 sampai 2015, Sarnadi rutin menjadi juri lomba lukis tingkat anak, mahasiswa dan umum di berbagai kota se-Indonesia. Lalu, sejak 2000, dirinya juga terlibat menjadi juri Festival Delman Hias dan Mobil Hias yang dilaksanakan pada acara HUT Jakarta dan pemilihan Abang None Jakarta.
"Saya juga diangkat menjadi Sekretaris Dewan Kesenian Jakarta sejak 2009," bebernya.
Berbagai capaian itu, menurut Sarnadi, tidak lepas dari proses pendidikan formal yang telah ditempuhnya. Untuk itu, pada 2012 lalu Ia melanjutkan studi mengambil magister hingga lanjut progam doktoral di ISI Yogyakarta dan meraih gelar Doktor pada 2018.
Kepada generasi muda, Sarnadi menyisipkan petuah agar jangan sungkan mengembangkan bakat seni lukis mereka melalui pendidikan formal. Ia menyebutkan, saat ini sudah banyak kampus yang membuka jurusan seni lukis seperti UNJ, ISI Yogyakarta, IKJ, ITB dan Universitas Trisakti.
Ia menegaskan, pendidikan merupakan hal penting bila ingin merubah nasib. Kepada generasi muda juga diyakinkan Sarnadi, bahwa pelukis saat ini sudah dihargai dan bisa dikatakan setara dengan profesi lainnya.
Bahkan, dengan profesi sebagai pelukis, Sarnadi mengaku bisa mendapat kehormatan menggelar pameran tunggal di Balai Kota DKI Jakarta untuk kali pertama.
"Saya sangat menghargai kesempatan dan upaya serius Pemprov DKI Jakarta mengangkat Seni dan budaya, khususnya bidang seni rupa lukis," ungkapnya.
Meski begitu, Sarnadi juga menyebut pentingnya eksistensi ruang pamer dalam bentuk museum seni rupa Betawi yang saat ini belum ada di Jakarta. Bukan sekadar menjadi motivator dan media pembelajaran bagi generasi muda, keberadaan museum itu juga penting sebagai etalase serta indikator kota global.
Ia mencontohkan, Kota Amsterdam memiliki museum Van Gogh dan Rembrandt House Museum sebagai etalase kota. Figur mereka sebagai pelukis juga menjadi instrumen budaya masyarakat inti yang disyaratkan sebagai indikator meningkatkan peringkat top kota global dunia.
Sarnadi berharap, Pemprov DKI Jakarta bisa memfasilitasi pembangunan Museum Seni Rupa Betawi Sarnadi Adam yang dibangun di lokasi strategis di pusat kota.
"Misal bisa saja di TIM lokasinya. Saya pribadi siap sumbang 50 lukisan terbaik," tandasnya.