Bagi masyarakat Betawi, buaya dipercaya hanya kawin sekali seumur hidupnya. Dari sanalah lahir filosofi bahwa Roti Buaya menjadi lambang cinta yang teguh, kesabaran, kemapanan
Dari Ruko Sederhana di Pondok Ranggon
Di sebuah rumah toko (ruko) berukuran sekitar 8x10 meter di Jalan Kramat Ganceng, RT 05/01, Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur, aroma roti baru matang setiap hari menyeruak dari dapur milik Jimboy Bakery.
Dari ruko kecil di sudut Pondok Ranggon, aroma roti itu seakan membawa pesan sederhana namun dalam, bahwa kesetiaan seperti Roti Buaya memang tak lekang dimakan zaman.
Usaha rumahan milik pasangan suami istri, Endang Dani Ginanjar (53) dan Hayati Suminar (50) atau akrab disapa Mir menjadi salah satu produsen Roti Buaya legendaris di Jakarta Timur.
Dua Ondel-ondel berwarna hijau muda dan kuning keemasan berdiri gagah di depan rukonya, menjadi penanda khas sekaligus magnet bagi pengunjung yang penasaran. Di dalam, deretan etalase berisi roti aneka rasa, rak pendingin dan oven otomatis seolah menjadi saksi kesibukan enam karyawan yang bahu- membahu membuat berbagai pesanan pelanggan.
"Awalnya tahun 2009, saya cuma pakai meja kecil di depan rumah, jualan roti manis. Tepungnya pun cuma satu kilo sehari," kenang Mira.
Namun, takdir berkata lain. Setahun kemudian, saat musim pernikahan usai Iduladha di 2010, banyak warga mulai memesan Roti Buaya kepadanya. Tantangan itu ia sambut dengan semangat.
"Saya semakin merasa tertantang untuk melestarikan budaya Betawi lewat roti ini," ujarnya.
Sejak saat itu, nama Jimboy Bakery melejit dari mulut ke mulut hingga dikenal seantero Jakarta, bahkan mancanegara.
Seiring perkembangan zaman dan maraknya media sosial, pelanggan Roti Buaya buatan Mira tak hanya datang dari Jabodetabek. Tapi, ada juga dari luar pulau jawa hingga negara lain seperti Timor Leste, Malaysia hingga Arab Saudi. Bahkan, sejumlah wisatawan dari Prancis, Mesir hingga Jepang pernah berkunjung ke rukonya.
"Mereka cari Roti Buaya, bir pletok, sampai dodol Betawi," cerita Mira penuh bangga.
Mira menuturkan, Roti Buaya dibuat berdasarkan pesanan. Saat musim nikah, bisa sampai 30 pasang per hari. Tapi kalau sepi, biasanya maksimal hanya sampai enam pasang.
Untuk sepasang Roti Buaya lengkap dengan dua 'anaknya', harganya dibanderol mulai Rp400 ribu hingga Rp700 ribu, tergantung ukuran dan isiannya. Variannya pun beragam, ada coklat, keju, srikaya hingga blueberry.
Lebih dari satu dekade berkecimpung dalam bisnis ini, Mira merasa bangga bisa ikut melestarikan budaya Betawi melalui Roti Buaya.
"Selama masih ada yang menikah, Roti Buaya nggak akan pernah hilang," kata Mira seraya tersenyum.
Rahasia di Balik Proses Pembuatan
Beki (36), salah seorang karyawan setia Mira menyampaikan, membuat Roti Buaya butuh ketelatenan tinggi. Prosesnya sekitar empat sampai enam jam.
"Dari bikin adonan sampai dihias," bebernya sambil menepuk lembut adonan di atas nampan seng.
Setelah dibentuk menyerupai buaya, bagian perut diisi coklat atau keju sesuai permintaan. Lalu difermentasi sekitar 20 menit hingga mengembang. Sisik-sisik buaya dibentuk dengan gunting dan matanya dipasangi blueberry. Setelah dipanggang dalam oven bersuhu 180–220 derajat celcius, roti dioles mentega agar mengilap dan tampak menggoda.
"Setelah dingin, baru kami hias dan bungkus rapi," tambahnya.
Di balik kesuksesannya, Mira mengaku motivasi awalnya sederhana karena kebutuhan hidup. Namun, dari keuletan dan semangat pantang menyerah, usahanya justru menjadi warisan budaya yang hidup.
Kini Jimboy Bakery tak hanya memproduksi Roti Buaya, tapi juga aneka panganan Betawi seperti Dodol, Biji Ketapang, Roti Gambang, Geplak, Selendang Mayang hingga Bir Pletok. Tak ketinggalan, ia juga memproduksi roti khas Eropa untuk memenuhi selera anak muda masa kini.
Filosofi Roti Buaya
Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Beki Mardani menjelaskan, Roti Buaya memang selalu melekat di saat pesta pernikahan masyarakat Betawi. Sebab, di dalamnya terkandung filosofi bahwa buaya secara zoologi merupakan simbol binatang yang paling setia terhadap pasangannya. Dalam hidupnya hanya menikah sekali dan jika salah satu pasangannya mati, maka tidak mencari jodoh lagi.
"Roti Buaya ini biasanya diarak saat acara pernikahan bersama barang seserahan lainnya. Sampai saat ini masih dipertahankan tradisi ini secara turun-temurun di seluruh wilayah Jakarta," imbuhnya.
Ia menyayangkan sebagian orang yang salah tafsir di masyarakat dengan ungkapan 'Buaya Darat' yang justru tidak berkorelasi dengan kesetiaan.
"Ini salah kaprah yang harus diluruskan, karena memang buaya ini simbol kesetiaan. Demikian halnya orang yang telah menikah itu harus setia dengan pasangannya masing-masing sampai akhir hayatnya," tandasnya.